Sabtu, 09 April 2016

Dalil Kehujjahan Hadits



DALIL KEHUJJAHAN HADITS
Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah “Ulumul hadits”
Dosen Pengampu: Hendra Yulia Rahman,. M.HI

                                              


                                           Oleh:
 Nama     :  Muhammad Fathan Nai’m
 Nim         :  (015211011)
 Semester: II (Dua)

                        JURUSAN SYARI’AH
   PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSYIYYAH                
                SEKOLAH  TINGGI  AGAMA ISLAM NEGERI( STAIN ) 
                       AL-FATAH  JAYAPURA
2016

 


    A.    Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam menempati kedudukan setelah Al-Qur’an. Bagi umat Islam merupakan keharusan untuk mengikuti hadis sama halnya dengan mengikuti Al-Qur’an baik berupa perintah maupun larangan.  Tanpa memahami dan menguasai hadits, siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an. Sebaliknya, siapapun tidak akan bisa memahami Hadits tanpa memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang didalamnya berisi garis besar syariat dan hadits merupakan dasar hukum kedua yang didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Qur’an. Dengan demikian antara Hadits dan Al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur’an lebih tinggi satu tingkat daripada otoritas Hadits, karena Al-Qur’an mempunyai kualitas qath’iy baik secara global maupun terperinci. Sedangkan Hadits berkulitas qath’iy secara global dan tidak secara terperinci. Disisi lain karena Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW tidak lebih hanya penyampai Al-Qur’an kepada manusia.
Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al Qur’an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada umat dengan cara beliau sendiri.
بِالْبَيّنَاتِ وَالزّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذّكْرَ لِتُبَيّنَ لِلنّاسِ مَا نُزّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلّهُمْ يَتَفَكّرُونَ
“kami telah menurunan peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu menerangkan kepada segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka” (QS. An-Nahl 44).
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا....
“Apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa yang dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS. Al-Hasyr 7).
Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadits merupakan penjelasan Al-Qur’an. Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan demikian, sunnah adalah menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan mentakwilkan kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat dikategorikan beriman kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh Rasulullah SAW dan dengan putusannya itu mereka merasa senang.

    B.     Dalil Kehujjahan Hadits
Yang dimaksud dengan dalil kehujjahan hadis/sunnah adalah keberadaan hadis sebagai dasar ajaran atau dasar hukum dalam Islam. Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa dalil/ alasan mengapa hadis dapat dijadikan dasar ajaran atau dasar hukum Islam sebagaimana disadur dari kitab ‘Ilmu Ushul al-Fiqh karya ‘Abd al-Wahhab Khallaf, Guru Besar al-Syari’ah al-Islamiyyah di Fakultas al-Huqquq Universitas al-Kahirah: 
1.         Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah :
Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi :
مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Artinya:
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu'min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”(QS:Ali Imran:179)
Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”(QS:An-Nisa:136).
Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafiq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, rasul-Nya (Muhammad SAW), al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.
Selain Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat al-Qur’an yang mnyerukan seruan ini.

Perhatikan firman Allah SWT. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Artinya:
“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya  Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran : 32).
Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS:An-Nisa : 59).
Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
Artinya:
“Katakanlah: "Ta'at kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".(An-Nur:54).
Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.
Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada Rasulullah Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak dipersilihkan umat Islam.
2.         Dalil Hadits
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله(رواه الحاكم
Artinya :
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”(HR. Malik).
Begitu juga yang di riwayatkan dari al-‘irbash ibn sariyah r.a., dari Rasulallah SAW bahwa beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَ سُنَّةِ اْلخَلِفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِ يِيَّنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِا لنَّوَا جِذِ
“Tetaplah kalian pada sunnah khulafaur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan  gigi grahangmu.”
(HR.Abu Daud dan al-Tirmidzi).
Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.

3.         Ijma’ para sahabat
 Ijma’ para sahabat yang mengatakan wajib mengikuti sunnah rasul baik pada masa hidup Rasulullah SAW. maupun setelah beliau wafat. Pada saat Rasulullah masih hidup, para sahabat selalu melaksanakan perintah Rasulullah Saw. dan meninggalkan larangan beliau. Para sahabat tidak membedakan kewajiban mengikuti kentuan yang diwahyukan Allah Swt. melalui al-Qur’an, maupun ajaran yang disampaikan Rasulullah Saw. melalui hadis beliau. Mu’az bin Jabal pernah berkata “dalam memutuskan perkara ummat, jika saya tidak menemukan sumbernya melalui al-Qur’an, maka saya memutuskannya dengan berpedoman kepada sunnah Rasulullah Saw.” Adapun sepeninggal Rasulullah Saw. jika mereka tidak menemukan ketentuan ajaran agama melalui al-Qur’an, mereka masih tetap berpedoman kepada sunnah Rasulullah Saw. Sebagai contoh, Abu Bakr Ra. ketika tidak menemukan sunnah Rasulullah Saw. terkait suatu perkara, maka beliau bertanya kepada sahabat yang lain adakah mereka mengetahui adanya sunnah Rasulullah Saw. yang megatur terkait persoalan yang dimaksud. Begitu juga yang dilakukan oleh Umar bin Khatab Ra. dan sahabat yang lainnya ketika akan berfatwa atau melahirkan ketentuan hukum selama riwayat yang disampikan itu benar dari Rasulullah Saw.
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan Hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini :
a.         Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.
b.          Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
c.         Pernah ditanyakan kepad Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.”
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah SAW, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.


4.         Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad ini tetap berlaku hingga akhirnya ada nash yang menasakhnya.
           Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzonni, kecuali hadits mutawatir.

C.       Fungsi Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam
Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.  Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya :
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.             (QS. An-Nahl : 44)
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarat dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an. Apabila disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a.         Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan At -Tafsir adalah menerangkan ayat- ayat yang sangat umum, mujmal, dan musytarak. Fungsi hadist dalam hal ini adalah menerangkan perincian ( tafshil ) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhshish ayat-ayat yang masih umum.
Diantara contoh bayan At -Tafsir mujmal adalah seperti hadist yang menerangkan kemujmalan ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang beribadah tersebut masih bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya kita diperintahkan shalat, namun Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sabdanya :
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ (رواه البخارى)                                           
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah :
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqoroh[2]: 43)
b.         Bayan At-Taqrir
Bayan At-Taqrir atau sering juga disebut bayan at-ta’kid dan bayan al- itsbat adalah hadist yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Dalam hal ini, hadis hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an.  Suatu hadis yang diriwayatkan muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut :
فَإِذَا رَأَيْـتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْـتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا (رواه مسلم)
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini yang artinya :
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh [2]: 185)
c.         Bayan At-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an. Bayan ini juga disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an.
Hadits bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits yang diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan setelah Al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam.
Suatu contoh dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits zakat fitrah yang berbunyi :
إن رسول الله صلي الله عليه وسلم فرض زكاة الفطرمن رمضا ن علي النا س صاعا من تمرأوصاعا من شعيرعلي كل حراوعبد ذكر أو أنثي من المسلمين

Artinya:
“Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.”
Hadits yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits yang lainnya.
d.        Bayan An-Nasakh
Secara bahasa an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan) atau at-tagyar (mengubah).
Para Ulama’ baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalam mendefinisikan bayan an-nasakh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan di antara mereka dalam mendefinisikan kata naskh dari segi kebahasaan.
Menurut Ulama’ mutaqaddimin, yang dimaksud dengan bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dan pengertian tersebut menurut ulama’ yang setuju adanya fungsi bayan an nasakh, dapat dipahami bahwa hadis sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi Al-Qur’an yang datang kemudian.
Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya.
Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits :
لا وصية لوارث
Artinya :
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180     yang artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180)







DAFTAR PUSTAKA
Mohammad Gufron,Rahmawati. Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah.(Jombang:Teras, 2013).
http://irhasmelayu.blogspot.co.id/2013/10/dalil-kehujjahan-hadis-sunnah_18.html
















1 komentar:

  1. trimakasih banyak atas ilmunya, sebelumnya saya minta maaf, saya mw bertanya untuk no 2 diatas, ada hadits tentang dalil Kehujjahan sunnah, di sana pada haditsnya ditulis Hadits riwayat Hakim, tp pada arti hadits ditulis Hadits riwayat Malik, yang benar yg mana ya 🙏🙏🙏

    BalasHapus